Sabtu, 02 November 2013

Tata Cara Haji dan Umrah

Ka’bah di bulan Ramadan (AP Photo)
Tata Cara Umrah
  1. Jika anda telah sampai di miqat (tempat memulai ihram), mandilah sebagaimana anda mandi junub (jika sanggup dikerjakan).
Setelah itu, pakailah wangi-wangian yang paling baik (ke tubuh anda). Kemudian, pakailah kain ihram: (Bagi laki-laki) dua helai kain putih, salah satunya digunakan sebagai sarung. Sedangkan bagi wanita, boleh menggunakan pakaian apapun dengan syarat tidak memper-tontonkan hiasannya kepada orang lain atau menyerupai (pakaian) laki-laki.
Kemudian, berihramlah dengan mengucapkan (niat): “لَبَّيْكَ عُمْرَةً” (jika anda hendak melakukan umrah), kemudian lanjutkan dengan talbiah seperti yang diajarkan (Nabi Shallallahu `alaihi wasallam) kepada kita:
(( لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ )).
“Kupenuhi panggilanMu ya Allah, kupenuhi panggilanMu, kupenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, kupenuhi panggilanMu. Se-sungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanya milikMu semata, tiada sekutu bagiMu”.
Berihram dari miqat hukumnya adalah wajib. Jika anda hendak berhaji atau umrah, maka anda tidak boleh melewati miqat tanpa berihram.
  1. Jika anda telah berniat melaksanakan ibadah haji atau umrah (berihram), maka ketahuilah bahwa anda dilarang melakukan perbuatan-perbuatan berikut ini:
    1. Memotong rambut/ bulu dari semua anggota tubuh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum (binatang) korban sampai di tempat penyembelihannya”. (QS. Al Baqarah: 196)
  1. Menggunakan wangi-wangian di badan, pakaian dan makanan, berdasarkan hadits yang mengisahkan tentang seorang yang terjatuh dari ontanya (pada saat menunaikan ibadah haji) lalu meninggal dunia karena diinjak oleh ontanya itu.Kisah tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: “Ketika seorang yang wukuf di Arafah terjatuh dari ontanya, kemudian  meninggal karena diinjak oleh ontanya tersebut, Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda: “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, kemudian kafanilah dia dengan dua helai kain ihramnya, jangan kalian memberikan wangi-wangian kepadanya dan jangan menutupi kepalanya, karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiah (ihram)”. (Muttafaqun `alaihi).
Seorang yang berihram tidak boleh mengenakan pakaian yang sudah dicelup dengan za`faran dan wars (jenis tumbuhan yang berbau harum).
  1. Bersetubuh. Ini adalah larangan yang paling besar (berat), sebab akan merusak haji, jika dilakukan sebelum tahallul awal, dan orang yang melakukannya diwajibkan menyempurnakan (meneruskan) ibadah haji tersebut, mengulang haji lagi tahun berikutnya serta diwajibkan menyembelih unta.
Orang yang sedang berihram juga tidak boleh melangsungkan pernikahan atau menikahkan (orang lain), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam:
(( لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ )).
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah, menikahkan dan meminang”. (HR. Muslim: no. 1409).
  1. Khusus bagi laki-laki, tidak boleh memakai pakaian yang berjahit. Yaitu pakaian yang dijahit menutupi badan, seperti baju, atau menutupi sebagian anggota badan, seperti kaos dan celana dalam. Demikian pula, tidak boleh menutupi kepalanya dengan sesuatu yang menempel, seperti sorban, topi dan sebagainya.
  2.  Seorang yang sedang berihram, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh membunuh binatang buruan darat (yang liar), atau membantu orang lain berburu dan mengusik hewan tersebut dari tempatnya.
  3. Khusus bagi wanita yang berihram, tidak boleh menggunakan niqab (penutup wajah), yaitu menutup wajahnya dengan kain yang terbuka pada bagian matanya. Dan tidak dibolehkan pula mengenakan kaos (sarung) tangan yang meliputi kedua tangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam:
(( لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ، وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ )).
“Seorang wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab (penutup wajah) dan sarung tangan”. (HR. Bukhary: no. 1838).
Tetapi, ia boleh menutup wajahnya jika ada laki-laki ajnabi (bukan mahramnya), sebagaimana dikatakan oleh `Aisyah radhiyallahu `anha: “Dahulu (pada masa Nabi), apabila sekelompok orang yang berkenderaan melewati kami, sedang pada waktu itu kami bersama Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam, jika mereka berada sejajar dengan kami, seseorang yang ihram di antara kami menurunkan jilbab-nya dari atas kepala untuk menutupi wajahnya. Dan jika mereka telah berlalu, kami membukanya kembali. HR. Abu Daud: no. 1562, Ibnu Majah: no. 2926 dan Ahmad: no. 22894.
  1. Kemudian memperbanyak talbiyah hingga tiba di kota Mekkah dan memulai thawaf di Ka`bah.
Jika anda sudah tiba di kota Mekkah, thawaf-lah di Ka`bah sebanyak tujuh putaran, bermula dan berakhir di Hajarul Aswad. Kemudian dianjurkan shalat dua raka`at di belakang Maqam Ibrahim, baik dari jarak yang dekat –jika mampu- ataupun jauh.
  1. Jika anda telah selesai shalat dua raka`at, pergilah menuju bukit Shafa dan lakukanlah sa`i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, dengan niat sa`i untuk umrah, dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwah. Dari Shafa ke Marwah dihitung satu putaran, demikian seterusnya sampai berakhir di Marwah.
  2. Jika anda telah menyempurnakan sa`i, cukur-lah dengan rata semua rambut kepala anda. Dengan demikian, berarti selesailah sudah rangkaian ibadah umrah anda, dan anda boleh melepas pakaian ihram serta memakai baju (pakaian biasa).
  3. Jika anda ingin mengerjakan haji saja, maka ucapkanlah ketika anda ihram dari miqat: “Labbaika hajjan”. Kemudian perbanyaklah membaca talbiyah sampai melempar Jumrah `Aqabah (pada hari Nahar). Jika anda telah sampai di Baitullah (Ka`bah), thawaflah tujuh putaran sebagai thawaf Qudum. Dan setelah anda melakukan sa`i antara Shafa dan Marwah, maka sa`i tersebut sudah cukup (dan berfungsi sebagai) sa`i untuk haji, dan janganlah anda mencukur rambut; karena anda tetap dalam keadaan ihram sampai anda bertahallul pada hari `Id (`Idul Adha).
  4. Dan jika anda melaksanakan haji Qiran (menggabungkan haji dan umrah), maka ucapkanlah ketika anda berihram di miqat: “Labbaika `umratan wahajjan”. Kemudian perbanyak-lah membaca talbiyah sampai anda melontar Jumrah `Aqabah. Dan anda melakukan peker-jaan (manasik) seperti yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji Ifrad (mengerjakan haji saja, sebagaimana pada poin enam di atas).
***
Tata Cara Haji
1. Pada waktu Dhuha tanggal 8 Dzulhijjah, ber-ihram-lah untuk haji dari tempat tinggal anda –jika anda melakukan haji Tamattu`-. Sebelum berihram, mandilah terlebih dahulu -jika sanggup- dan kenakanlah pakaian ihram, kemudian ucapkan:”لَبَّيْكَ حَجًّا”.
2. Jika anda mengerjakan haji Qiran atau Ifrad, maka anda tetap dalam keadaan ihram anda semula.
3. Berangkatlah ke Mina dan kerjakanlah shalat Zhuhur dua raka`at, `Ashar dua raka`at, Maghrib tiga raka`at, `Isya dua raka`at dan Shubuh dua raka`at, masing-masing shalat dikerjakan pada waktunya (tidak dijama`).
4. Jika telah terbit matahari hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), berangkatlah ke Arafah sambil bertalbiyah. Kerjakanlah shalat Zhuhur dan `Ashar pada waktu Zhuhur (jama` taqdim) masing-masing dua raka`at (diqashar) dengan satu kali azan dan dua kali iqamat.
Tinggallah di Arafah sampai terbenam matahari seraya terus memperbanyak berdo`a dan dzikir sambil menghadap kiblat.
Pastikan bahwa anda benar-benar berada di dalam batas Arafah, dan jangan sampai  keluar meninggalkan batas Arafah sebelum matahari terbenam.
5. Jika matahari benar-benar telah tenggelam, bergeraklah dari Arafah menuju Muzdalifah dengan tenang. Kerjakanlah shalat Maghrib dan `Isya sesampai di Muzdalifah dijama` ta’khir; Maghrib tiga raka`at, `Isya dua raka`at dengan satu azan dan dua iqamat. Kemudian bermalamlah di situ sampai shalat Shubuh. Dan setelah shalat Shubuh, tetaplah di Muzdalifah untuk berdo`a dan berdzikir sampai menjelang (mendekati waktu) terbitnya matahari.
6. Ketika matahari sudah akan terbit, bergeraklah dari Muzdalifah menuju Mina dengan tetap bertalbiyah. Dan jika anda telah sampai di Mina, lakukanlah pekerjaan-pekerjaan berikut -setelah terbit matahari-:
a. Melontar Jumrah `Aqabah, yaitu jumrah yang terdekat dari Mekah, dengan tujuh batu kerikil (seukuran biji kacang tanah) secara berturut-turut, seraya bertakbir dalam setiap lontaran. Usahakan kerikil-kerikil tersebut masuk ke dalam lubang (lingkaran).
b. Sembelihlah hewan kurban (hadyu), makanlah sebagian dagingnya, dan sisanya bagikan kepada orang-orang fakir miskin. Binatang kurban (hadyu) ini wajib bagi orang yang mengerjakan haji Tamattu` dan Qiran. Namun, jika tidak mampu, anda dapat menggantinya dengan puasa tiga hari di musim haji dan tujuh hari setelah kembali ke kampung halaman.
c. Mencukur seluruh rambut (sampai gundul) atau memangkas pendek seluruhnya. Bagi wanita, cukup mencukur rambutnya sepanjang satu ruas jari.
Jika anda mampu, kerjakanlah ketiga hal di atas secara berurutan, mulai dari melontar jumrah, menyembelih binatang (hadyu), ke-mudian mencukur rambut. Namun jika anda tidak mampu, maka tidak mengapa dikerjakan dengan tidak berurutan.
Setelah melontar jumrah dan mencukur atau memotong rambut, anda telah bertahallul yang pertama (kecil). Setelah itu, anda boleh mengenakan pakaian (biasa) dan tidak ada lagi larangan ihram yang tinggal kecuali satu, yaitu mendatangi wanita (bersetubuh).
7. (Setelah itu), pergilah ke Mekkah untuk me-ngerjakan Thawaf Ifadhah –thawaf haji- dan sa`i di antara Shafa dan Marwah, sebagai sa`i (wajib) haji, bagi anda yang mengerjakan haji Tamattu`. Dengan demikian, anda telah bertahallul yang kedua (besar). Setelah itu, tidak ada lagi larangan ihram yang mesti dihindari termasuk mendatangi istri (bersetubuh).
8. Bagi anda yang mengerjakan haji Qiran atau Ifrad, lakukanlah thawaf dan sa`i di antara Shafa dan Marwah, bila anda belum melakukan sa`i pada saat Thawaf Qudum.
9. Kemudian kembalilah ke Mina dan mabit (bermalam)lah pada malam ke 11 dan 12 Dzulhijjah.
10. Lontarlah tiga jumrah pada hari ke 11 dan 12 setelah tergelincir matahari (setelah masuk Zhuhur), di mulai dari Jumrah Ula, yaitu jumrah yang paling jauh dari Mekkah, kemudian Jumrah Wushtha dan Jumrah `Aqabah, masing-masing dengan tujuh batu kerikil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap lontaran.
Disunnahkan (sangat dianjurkan) berdo`a setelah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wushtha. Dan tidak dibolehkan melontar sebelum tergelincir matahari.
11. Jika anda telah menyempurnakan (amalan) hari ke 11 dan 12, anda boleh bersegera meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam atau tetap tinggal  di Mina –ini yang paling utama (afdhal)- dan mabit (bermalam) lagi pada malam ke 13 Dzulhijjah. Lontarlah ketiga jumrah pada hari ke 13 setelah tergelincir matahari, sebagaimana yang anda lakukan pada hari ke 12.
12. Jika anda hendak kembali ke kampung halaman anda, kerjakanlah Thawaf Wada`-sebelum me-ninggalkan Mekkah- sebanyak tujuh putaran. Dan bagi wanita yang haidh dan nifas, tidak perlu mengerjakan Thawaf Wada`. Lihat selebaran dengan judul: “Manasik Haji dan Umrah“, yang ditulis oleh Syekh Muhammad bin `Utsaimin.
(Dari buku “Sembilan Nasehat Buat Anda Yang Menunaikan Ibadah Haji Dan Umrah”, Judul Asli: “Rasaail lil Hujjaj wal Mu`tamiriin”, Penulis: Dr. Yahya bin Ibrahim Al Yahya, islamhouse.com).

Tata Cara Haji dan Umrah

Ka’bah di bulan Ramadan (AP Photo)
Tata Cara Umrah
  1. Jika anda telah sampai di miqat (tempat memulai ihram), mandilah sebagaimana anda mandi junub (jika sanggup dikerjakan).
Setelah itu, pakailah wangi-wangian yang paling baik (ke tubuh anda). Kemudian, pakailah kain ihram: (Bagi laki-laki) dua helai kain putih, salah satunya digunakan sebagai sarung. Sedangkan bagi wanita, boleh menggunakan pakaian apapun dengan syarat tidak memper-tontonkan hiasannya kepada orang lain atau menyerupai (pakaian) laki-laki.
Kemudian, berihramlah dengan mengucapkan (niat): “لَبَّيْكَ عُمْرَةً” (jika anda hendak melakukan umrah), kemudian lanjutkan dengan talbiah seperti yang diajarkan (Nabi Shallallahu `alaihi wasallam) kepada kita:
(( لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ )).
“Kupenuhi panggilanMu ya Allah, kupenuhi panggilanMu, kupenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu, kupenuhi panggilanMu. Se-sungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanya milikMu semata, tiada sekutu bagiMu”.
Berihram dari miqat hukumnya adalah wajib. Jika anda hendak berhaji atau umrah, maka anda tidak boleh melewati miqat tanpa berihram.
  1. Jika anda telah berniat melaksanakan ibadah haji atau umrah (berihram), maka ketahuilah bahwa anda dilarang melakukan perbuatan-perbuatan berikut ini:
    1. Memotong rambut/ bulu dari semua anggota tubuh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala:
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum (binatang) korban sampai di tempat penyembelihannya”. (QS. Al Baqarah: 196)
  1. Menggunakan wangi-wangian di badan, pakaian dan makanan, berdasarkan hadits yang mengisahkan tentang seorang yang terjatuh dari ontanya (pada saat menunaikan ibadah haji) lalu meninggal dunia karena diinjak oleh ontanya itu.Kisah tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: “Ketika seorang yang wukuf di Arafah terjatuh dari ontanya, kemudian  meninggal karena diinjak oleh ontanya tersebut, Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda: “Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, kemudian kafanilah dia dengan dua helai kain ihramnya, jangan kalian memberikan wangi-wangian kepadanya dan jangan menutupi kepalanya, karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiah (ihram)”. (Muttafaqun `alaihi).
Seorang yang berihram tidak boleh mengenakan pakaian yang sudah dicelup dengan za`faran dan wars (jenis tumbuhan yang berbau harum).
  1. Bersetubuh. Ini adalah larangan yang paling besar (berat), sebab akan merusak haji, jika dilakukan sebelum tahallul awal, dan orang yang melakukannya diwajibkan menyempurnakan (meneruskan) ibadah haji tersebut, mengulang haji lagi tahun berikutnya serta diwajibkan menyembelih unta.
Orang yang sedang berihram juga tidak boleh melangsungkan pernikahan atau menikahkan (orang lain), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam:
(( لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ )).
“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah, menikahkan dan meminang”. (HR. Muslim: no. 1409).
  1. Khusus bagi laki-laki, tidak boleh memakai pakaian yang berjahit. Yaitu pakaian yang dijahit menutupi badan, seperti baju, atau menutupi sebagian anggota badan, seperti kaos dan celana dalam. Demikian pula, tidak boleh menutupi kepalanya dengan sesuatu yang menempel, seperti sorban, topi dan sebagainya.
  2.  Seorang yang sedang berihram, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh membunuh binatang buruan darat (yang liar), atau membantu orang lain berburu dan mengusik hewan tersebut dari tempatnya.
  3. Khusus bagi wanita yang berihram, tidak boleh menggunakan niqab (penutup wajah), yaitu menutup wajahnya dengan kain yang terbuka pada bagian matanya. Dan tidak dibolehkan pula mengenakan kaos (sarung) tangan yang meliputi kedua tangan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam:
(( لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ، وَلاَ تَلْبَسُ الْقُفَّازَيْنِ )).
“Seorang wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab (penutup wajah) dan sarung tangan”. (HR. Bukhary: no. 1838).
Tetapi, ia boleh menutup wajahnya jika ada laki-laki ajnabi (bukan mahramnya), sebagaimana dikatakan oleh `Aisyah radhiyallahu `anha: “Dahulu (pada masa Nabi), apabila sekelompok orang yang berkenderaan melewati kami, sedang pada waktu itu kami bersama Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam, jika mereka berada sejajar dengan kami, seseorang yang ihram di antara kami menurunkan jilbab-nya dari atas kepala untuk menutupi wajahnya. Dan jika mereka telah berlalu, kami membukanya kembali. HR. Abu Daud: no. 1562, Ibnu Majah: no. 2926 dan Ahmad: no. 22894.
  1. Kemudian memperbanyak talbiyah hingga tiba di kota Mekkah dan memulai thawaf di Ka`bah.
Jika anda sudah tiba di kota Mekkah, thawaf-lah di Ka`bah sebanyak tujuh putaran, bermula dan berakhir di Hajarul Aswad. Kemudian dianjurkan shalat dua raka`at di belakang Maqam Ibrahim, baik dari jarak yang dekat –jika mampu- ataupun jauh.
  1. Jika anda telah selesai shalat dua raka`at, pergilah menuju bukit Shafa dan lakukanlah sa`i antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali, dengan niat sa`i untuk umrah, dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwah. Dari Shafa ke Marwah dihitung satu putaran, demikian seterusnya sampai berakhir di Marwah.
  2. Jika anda telah menyempurnakan sa`i, cukur-lah dengan rata semua rambut kepala anda. Dengan demikian, berarti selesailah sudah rangkaian ibadah umrah anda, dan anda boleh melepas pakaian ihram serta memakai baju (pakaian biasa).
  3. Jika anda ingin mengerjakan haji saja, maka ucapkanlah ketika anda ihram dari miqat: “Labbaika hajjan”. Kemudian perbanyaklah membaca talbiyah sampai melempar Jumrah `Aqabah (pada hari Nahar). Jika anda telah sampai di Baitullah (Ka`bah), thawaflah tujuh putaran sebagai thawaf Qudum. Dan setelah anda melakukan sa`i antara Shafa dan Marwah, maka sa`i tersebut sudah cukup (dan berfungsi sebagai) sa`i untuk haji, dan janganlah anda mencukur rambut; karena anda tetap dalam keadaan ihram sampai anda bertahallul pada hari `Id (`Idul Adha).
  4. Dan jika anda melaksanakan haji Qiran (menggabungkan haji dan umrah), maka ucapkanlah ketika anda berihram di miqat: “Labbaika `umratan wahajjan”. Kemudian perbanyak-lah membaca talbiyah sampai anda melontar Jumrah `Aqabah. Dan anda melakukan peker-jaan (manasik) seperti yang dilakukan oleh orang yang melaksanakan haji Ifrad (mengerjakan haji saja, sebagaimana pada poin enam di atas).
***
Tata Cara Haji
1. Pada waktu Dhuha tanggal 8 Dzulhijjah, ber-ihram-lah untuk haji dari tempat tinggal anda –jika anda melakukan haji Tamattu`-. Sebelum berihram, mandilah terlebih dahulu -jika sanggup- dan kenakanlah pakaian ihram, kemudian ucapkan:”لَبَّيْكَ حَجًّا”.
2. Jika anda mengerjakan haji Qiran atau Ifrad, maka anda tetap dalam keadaan ihram anda semula.
3. Berangkatlah ke Mina dan kerjakanlah shalat Zhuhur dua raka`at, `Ashar dua raka`at, Maghrib tiga raka`at, `Isya dua raka`at dan Shubuh dua raka`at, masing-masing shalat dikerjakan pada waktunya (tidak dijama`).
4. Jika telah terbit matahari hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), berangkatlah ke Arafah sambil bertalbiyah. Kerjakanlah shalat Zhuhur dan `Ashar pada waktu Zhuhur (jama` taqdim) masing-masing dua raka`at (diqashar) dengan satu kali azan dan dua kali iqamat.
Tinggallah di Arafah sampai terbenam matahari seraya terus memperbanyak berdo`a dan dzikir sambil menghadap kiblat.
Pastikan bahwa anda benar-benar berada di dalam batas Arafah, dan jangan sampai  keluar meninggalkan batas Arafah sebelum matahari terbenam.
5. Jika matahari benar-benar telah tenggelam, bergeraklah dari Arafah menuju Muzdalifah dengan tenang. Kerjakanlah shalat Maghrib dan `Isya sesampai di Muzdalifah dijama` ta’khir; Maghrib tiga raka`at, `Isya dua raka`at dengan satu azan dan dua iqamat. Kemudian bermalamlah di situ sampai shalat Shubuh. Dan setelah shalat Shubuh, tetaplah di Muzdalifah untuk berdo`a dan berdzikir sampai menjelang (mendekati waktu) terbitnya matahari.
6. Ketika matahari sudah akan terbit, bergeraklah dari Muzdalifah menuju Mina dengan tetap bertalbiyah. Dan jika anda telah sampai di Mina, lakukanlah pekerjaan-pekerjaan berikut -setelah terbit matahari-:
a. Melontar Jumrah `Aqabah, yaitu jumrah yang terdekat dari Mekah, dengan tujuh batu kerikil (seukuran biji kacang tanah) secara berturut-turut, seraya bertakbir dalam setiap lontaran. Usahakan kerikil-kerikil tersebut masuk ke dalam lubang (lingkaran).
b. Sembelihlah hewan kurban (hadyu), makanlah sebagian dagingnya, dan sisanya bagikan kepada orang-orang fakir miskin. Binatang kurban (hadyu) ini wajib bagi orang yang mengerjakan haji Tamattu` dan Qiran. Namun, jika tidak mampu, anda dapat menggantinya dengan puasa tiga hari di musim haji dan tujuh hari setelah kembali ke kampung halaman.
c. Mencukur seluruh rambut (sampai gundul) atau memangkas pendek seluruhnya. Bagi wanita, cukup mencukur rambutnya sepanjang satu ruas jari.
Jika anda mampu, kerjakanlah ketiga hal di atas secara berurutan, mulai dari melontar jumrah, menyembelih binatang (hadyu), ke-mudian mencukur rambut. Namun jika anda tidak mampu, maka tidak mengapa dikerjakan dengan tidak berurutan.
Setelah melontar jumrah dan mencukur atau memotong rambut, anda telah bertahallul yang pertama (kecil). Setelah itu, anda boleh mengenakan pakaian (biasa) dan tidak ada lagi larangan ihram yang tinggal kecuali satu, yaitu mendatangi wanita (bersetubuh).
7. (Setelah itu), pergilah ke Mekkah untuk me-ngerjakan Thawaf Ifadhah –thawaf haji- dan sa`i di antara Shafa dan Marwah, sebagai sa`i (wajib) haji, bagi anda yang mengerjakan haji Tamattu`. Dengan demikian, anda telah bertahallul yang kedua (besar). Setelah itu, tidak ada lagi larangan ihram yang mesti dihindari termasuk mendatangi istri (bersetubuh).
8. Bagi anda yang mengerjakan haji Qiran atau Ifrad, lakukanlah thawaf dan sa`i di antara Shafa dan Marwah, bila anda belum melakukan sa`i pada saat Thawaf Qudum.
9. Kemudian kembalilah ke Mina dan mabit (bermalam)lah pada malam ke 11 dan 12 Dzulhijjah.
10. Lontarlah tiga jumrah pada hari ke 11 dan 12 setelah tergelincir matahari (setelah masuk Zhuhur), di mulai dari Jumrah Ula, yaitu jumrah yang paling jauh dari Mekkah, kemudian Jumrah Wushtha dan Jumrah `Aqabah, masing-masing dengan tujuh batu kerikil secara berturut-turut sambil bertakbir pada setiap lontaran.
Disunnahkan (sangat dianjurkan) berdo`a setelah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wushtha. Dan tidak dibolehkan melontar sebelum tergelincir matahari.
11. Jika anda telah menyempurnakan (amalan) hari ke 11 dan 12, anda boleh bersegera meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam atau tetap tinggal  di Mina –ini yang paling utama (afdhal)- dan mabit (bermalam) lagi pada malam ke 13 Dzulhijjah. Lontarlah ketiga jumrah pada hari ke 13 setelah tergelincir matahari, sebagaimana yang anda lakukan pada hari ke 12.
12. Jika anda hendak kembali ke kampung halaman anda, kerjakanlah Thawaf Wada`-sebelum me-ninggalkan Mekkah- sebanyak tujuh putaran. Dan bagi wanita yang haidh dan nifas, tidak perlu mengerjakan Thawaf Wada`. Lihat selebaran dengan judul: “Manasik Haji dan Umrah“, yang ditulis oleh Syekh Muhammad bin `Utsaimin.
(Dari buku “Sembilan Nasehat Buat Anda Yang Menunaikan Ibadah Haji Dan Umrah”, Judul Asli: “Rasaail lil Hujjaj wal Mu`tamiriin”, Penulis: Dr. Yahya bin Ibrahim Al Yahya, islamhouse.com).

Bacaan dan Rukun khatib jumat


[DOA] bacaan dan Rukun khatib jumat
Tata cara pelaksanaan shalat Jum’at, yaitu :
1. Khatib naik ke atas mimbar setelah tergelincirnya matahari (waktu dzuhur), kemudian memberi salam dan duduk.
2. Muadzin mengumandangkan adzan sebagaimana halnya adzan dzuhur.
3. Khutbah pertama: Khatib berdiri untuk melaksanakan khutbah yang dimulai dengan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Kemudian memberikan nasehat kepada para jama’ah, mengingatkan mereka dengan suara yang lantang, menyampaikan perintah dan larangan Allah SWT dan RasulNya, mendorong mereka untuk berbuat kebajikan serta menakut-nakuti mereka dari berbuat keburukan, dan mengingatkan mereka dengan janji-janji kebaikan serta ancaman-ancaman Allah Subhannahu wa Ta’ala. Kemudian duduk sebentar
4. Khutbah kedua: Khatib memulai khutbahnya yang kedua dengan hamdalah dan pujian kepadaNya. Kemudian melanjutkan khutbahnya dengan pelaksanaan yang sama dengan khutbah pertama sampai selesai
5. Khatib kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya muadzin melaksanakan iqamat untuk melaksanakan shalat. Kemudian memimpin shalat berjama’ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan.
Adapun rukun khutbah Jumat paling tidak ada lima perkara.
1. Rukun Pertama: Hamdalah
Khutbah jumat itu wajib dimulai dengan hamdalah. Yaitu lafaz yang memuji Allah SWT. Misalnya lafaz alhamdulillah, atau innalhamda lillah, atau ahmadullah. Pendeknya, minimal ada kata alhamd dan lafaz Allah, baik di khutbah pertama atau khutbah kedua.
Contoh bacaan:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و
مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
Innal hamdalillahi nahmaduhu wa nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu wa na’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalahu wa mayyudhlilfalaa haadiyalahu
2. Rukun Kedua: Shalawat kepada Nabi SAW
Shalawat kepada nabi Muhammad SAW harus dilafadzkan dengan jelas, paling tidak ada kata shalawat. Misalnya ushalli ‘ala Muhammad, atau as-shalatu ‘ala Muhammad, atau ana mushallai ala Muhammad.
Contoh bacaan:

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدّيْن.
Allahumma sholli wa sallam ‘alaa muhammadin wa ‘alaa alihii wa ash haabihi wa man tabi’ahum bi ihsaani ilaa yaumiddiin.
3. Rukun Ketiga: Washiyat untuk Taqwa
Yang dimaksud dengan washiyat ini adalah perintah atau ajakan atau anjuran untuk bertakwa atau takut kepada Allah SWT. Dan menurut Az-Zayadi, washiyat ini adalah perintah untuk mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, cukup dengan ajakan untuk mengerjakan perintah Allah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, washiyat itu harus berbentuk seruan kepada ketaatan kepada Allah.
Lafadznya sendiri bisa lebih bebas. Misalnya dalam bentuk kalimat: “takutlah kalian kepada Allah”. Atau kalimat: “marilah kita bertaqwa dan menjadi hamba yang taat”.
Contoh bacaan:

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
yaa ayyuhalladziina aamanuu ittaqullaaha haqqa tuqaatihi wa laa tamuutunna ilaa wa antum muslimuun
Ketiga rukun di atas harus terdapat dalam kedua khutbah Jumat itu.
4. Rukun Keempat: Membaca ayat Al-Quran pada salah satunya
Minimal satu kalimat dari ayat Al-Quran yang mengandung makna lengkap. Bukan sekedar potongan yang belum lengkap pengertiannya. Maka tidak dikatakan sebagai pembacaan Al-Quran bila sekedar mengucapkan lafadz: “tsumma nazhar”.
Tentang tema ayatnya bebas saja, tidak ada ketentuan harus ayat tentang perintah atau larangan atau hukum. Boleh juga ayat Quran tentang kisah umat terdahulu dan lainnya.
Contoh bacaan:

فَاسْتبَقُِوا اْلخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونوُا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ
شَئٍ قَدِيرٌ
Fastabiqul khairooti ayna maa takuunuu ya’ tinikumullahu jamii’an innallaaha ‘alaa kulli syaiin qodiiru (QS. Al-Baqarah, 2 : 148)

أَمّا بَعْدُ
ammaa ba’du..
Selanjutnya berwasiat untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT, lalu mulai berkhutbah sesuai topiknya.
Memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun, atau ma’asyiral muslimin rahimakumullah, atau “sidang jum’at yang dirahmati Allah”.
……. isi khutbah pertama ………
Setelah di itu menutup khutbah pertama dengan do’a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat.
Contoh bacaan:

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ
مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
barakallahu lii wa lakum fill qur’aanil azhiim wa nafa’nii wa iyyaakum bima fiihi minal aayaati wa dzikril hakiim. Aquulu qowlii hadzaa wa astaghfirullaaha lii wa lakum wa lisaa iril muslimiina min kulli danbin fastaghfiruuhu innahu huwal ghafuurur rahiimu.
Lalu duduk sebentar untuk memberi kesempatan jamaah jum’at untuk beristighfar dan membaca shalawat secara perlahan.
Setelah itu, khatib kembali naik mimbar untuk memulai khutbah kedua. Dilakukan dengan diawali dengan bacaaan hamdallah dan diikuti dengan shalawat.
Contoh bacaan:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَلِيُّ الصَّالِحِينَ
وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا خَاتَمُ الأَنْْْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،
إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ., أَمَّابعد,
Innal hamdalillahi robbal’aalamiin wa asyhadu an laa ilaaha illahllaahu wa liyyash shalihiina wa asyhadu anna muhammadan khaatamul anbiyaai wal mursaliina allahumma shalli ‘alaa muhammadan wa ‘alaa aali muhammadin kamaa shollayta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.Wa barok ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali muhammadin kamaa baarokta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.
Ammaa ba’ad..
Selanjutnya di isi dengan khutbah baik berupa ringkasan, maupun hal-hal terkait dengan tema/isi khutbah pada khutbah pertama yang berupa washiyat taqwa.
……. isi khutbah kedua ………
5. Rukun Kelima: Doa untuk umat Islam di khutbah kedua
Pada bagian akhir, khatib harus mengucapkan lafaz yang doa yang intinya meminta kepada Allah kebaikan untuk umat Islam. Misalnya kalimat: Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat . Atau kalimat Allahumma ajirna minannar .
Contoh bacaan do’a penutup:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ
وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا
حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ
عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد
لله رب العالمين.
Allahummagh fir lilmuslimiina wal muslimaati, wal mu’miniina wal mu’minaatil ahyaa’I minhum wal amwaati, innaka samii’un qoriibun muhiibud da’waati.
Robbanaa laa tuaakhidznaa in nasiinaa aw akhtho’naa. Robbanaa walaa tahmil ‘alaynaa ishron kamaa halamtahuu ‘alalladziina min qoblinaa.Robbana walaa tuhammilnaa maa laa thooqotalanaa bihi, wa’fua ‘annaa wagh fir lanaa war hamnaa anta maw laanaa fanshurnaa ‘alal qowmil kaafiriina.
Robbana ‘aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar. Walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.
Selanjutnya khatib turun dari mimbar yang langsung diikuti dengan iqamat untuk memulai shalat jum’at. Shalat jum’at dapat dilakukan dengan membaca surat al a’laa dan al ghasyiyyah, atau surat bisa juga surat al jum’ah, al kahfi atau yang lainnya.
Demikian bacaan khutbah semoga bermanfaat bagi kita semua.
Perlu dibaca dan ditelaah
  • Sudah ada ketentuan bahwa saat khatib sedang berkhutbah, maka tidak boleh ada orang yang berbicara, menyela, berkomentar atau apapun pembicaraan lainnya. Meksipun tujuannya untuk menterjemahkan isi khutbah kepada orang yang tidak mengerti isinya.
  • Memang ada sedikit polemik di masa lalu tentang keharusan berkhutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian kalangan bersikeras bahwa khutbah Jumat itu harus dilakukan dalam bahasa Arab. Namun sebagian lagi menolaknya.
  • Dapat pula di ambil jalan tengah yaitu mereka yang mewajibkan bahasa Arab dalam khutbah, sesungguhnya hanya mewajibkannya pada rukun khutbah saja. Tidak pada semua bagian khutbah. Di luar kelima rukun itu, boleh saja seorang khatib berbicara dalam bahasa yang dipahami oleh kaumnya. Bahkan kelima rukun tadi boleh diterjemahkan juga ke dalam bahasa mereka, asalkan bahasa Arabnya tetap dibaca.
  • Seorang khatib boleh menambahi khutbahnya dengan bahasa lainnya, asalkan pada kelima rukun itu dia menggunakan bahasa Arab, walau hanya sepotong saja.
[ingin bisa khutbah dan ceramah]
  • Kemampuan, potensi, dukungan dan jerih payah apa saja yang dimiliki oleh umat Islam ini, bisa dan harus disumbangkan untuk dakwah, sesuai dengan daya dukung masing-masing.
  • Seorang dai, secara kauni seperti umumnya manusia lainnya, ia akan terus belajar dan berlatih. Dan secara syar’i, ia memang diwajibkan (bahkan dalam bahasa hadits: di-fardhu-kan) untuk menuntut ilmu, ilmu syar’i, ilmu kaun (alam), ilmu madani-hadhari (kemajuan-peradaban) dan pengembangan potensi.
  • Kalau selama ini Anda berkeinginan untuk bisa berceramah secara massal, berkhuthbah dan semacamnya, keinginan seperti ini adalah wajar dan bahkan Anda diperintahkan untuk mempelajarinya. Dan jika Anda telah mempelajarinya, berusaha secara maksimal, dan sampai wafat Antum tetap belum menguasainya, maka tanggung jawab Anda untuk belajar hal ini sudah terpenuhi, insya Allah dan insya Allah, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan meminta pertanggungjawaban dari Anda.
  • Belajarlah mulai dari yang kecil dan sederhana. Misalnya, menyampaikan taushiyah (pesan) atau mau’izhah di hadapan teman-teman Anda, bisa 2 orang, 3 orang atau 5 orang dalam tempo 2-3 menit. Lalu, secara gradual, periodik dan terus menerus Anda melakukan peningkatan. Baik dari sisi tempo waktu yang Anda sampaikan, maupun dari sisi jumlah pendengar yang mengikuti taushiyah atau mau’izhah Anda itu.
  • Jaga kebersihan hati (tazkiyatun-nafs), khususnya yang terkait dengan ikhlash dan shidiq: Sebab, apa yang keluar dari hati yang ikhlash dan shidiq akan masuk dan diterima oleh hati para pendengarnya dan akan memberikan pengaruhnya di sana.
[menyusun khutbah jum'at]
  • Khutbah jum’at memiliki kedudukan penting dalam islam. Bagaimana tidak,karena ia merupakan penopang utama dalam penyebaran dak’wah islam di seluruh dunia. ia juga merupakan salah satu sarana penting guna menyampaikan pesan dan nasehat kepada orang lain atau suatu kaum. Hal ini sebagaimana kaidah yang ada dalam islam : “menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran”.
  • Khutbah jumat dilakukan sebelum salat jum’at. Maka diantara syarat sahnya salat jum’at adalah khutbah, yang dilakukan saat waktu dzuhur. Dengan maksud tujuan pembelajaran dan pemberi peringatan atas segala ni’mat Allah swt. Semua ini adalah keutamaan islam yang slalu menjunjung tinggi peranan ilmu dan para ulama. Karena dengan ilmu kita mengetahui agama serta mengetahui hukum-hukumnya. Sehingga tidaklah seorang muslim melakukan sesuatu kecuali atas dasar ilmu.
  • Sesungguhnya tujuan utama dari khutbah juma’at adalah saling menasehati dalam kebaikan dan memberi peringatan, selain itu juga memberi solusi atas problematika yang ada di tengah masyarakat. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat terdahulu. Mereka berkhutbah di depan kaumnya. Menyeru mereka untuk senantiasa mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
  • Ada 4 fese penyusunan khutbah: [1]. fase pemilihan judul. [2]. fase penyusunan kerangka pembicaraan. [3]. fase pemilihan dalil yang tepat sesuai dengan judul dan jalannya pembicaraan. [4]. fase untuk mulai berlatih atau mengaplikasikan apa yang telah di susun.
  • Aspek yang menjadi pertimbangan sebelum menentukan judul: [1]. Hendaknya seorang khatib melihat standar akal pikiran masyarkat setempat. [2]. Hendaknya seorang khatib memperhatikan psikologi para pendengar.
  • Kerangka pembicaraan dilakukan agar pembahasan khutbah lebih terfokus dan tidak terlalu melebar. Sehingga pembicaraan tidak keluar dari judul yang telah ditentukan. Dan semua unsur-unsur yang ada dalam kerangka pembicaraan berhubungan satu sama yang lainnya tidak terpisah.
[pengertian shalat jum'at, hukum, syarat, ketentuan, hikmah dan sunah solat jumat]
  • Shalah Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
  • Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat: [1]. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. [2]. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40 orang. [3]. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
  • Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut : [1]. Mengucapkan hamdalah. [2]. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW. [3]. Mengucapkan dua kalimat syahadat. [4]. Memberikan nasihat kepada para jamaah. [5]. Membaca ayat-ayat suci Al-quran. [6]. Membaca doa.
  • Sunat-Sunat Shalat Jumat: [1]. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at. [2]. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku. [3]. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol). [4]. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat. [5]. Memperbanyak doa dan salawat nabi. [6]. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
[khatib jumat banyak salahnya]
  • Imam yang memimpin shalat haruslah bacaan ayat-ayatnya baik dan benar. Jika bacaannya keliru khususnya Alfatihah maka shalat yang dipimpinnya menjadi tidak sah. Dalam hal ini, makmun harus mengulangi shalat Jumatnya – atau melakukan shalat dzuhur sebagai pengganti shalat Jumat yang tidak sah itu.
  • Menghadiri Shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, kecuali lima orang: budak, perempuan, anak kecil, orang sakit, dan musafir.
  • Khutbah Jum’at, hukumnya wajib, karena Rasulullah selalu mengerjakannya dan tidak pernah meninggalkannya.
  • Dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. apabila berkhutbah, merah kedua matanya, meninggi suaranya, dan memuncak marahnya, lalu beliau menyampaikan peringatan kepada pasukan, yaitu beliau berkata “Awas musuh akan menyerang kalian pada waktu pagi, dan awas musuh akan menyerbu kalian diwaktu sore!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir 4711, irwa-ul Ghalil no: 611, Muslim II: 591 no: 866, dan Tirmidzi II: 9 no: 505).
  • Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad I: 116, menulis, “Barang siapa memperhatikan semua khutbah Nabi saw. dan khutbah para sahabatnya, niscaya ia mendapatkan materi khutbah meliputi penjelasan perihal hidayah, tauhid, sifat-sifat Rabb Jalla Jalaluh prinsip-prinsip pokok keimanan, dakwah (seruan) kepada Allah, dan penyebutan tentang aneka ragam nikmat Allah Ta’ala yang menjadikan dia cinta kepada makhluk-Nya dan hari-hari yang membuat mereka takut kepada adzab-Nya, menyuruh jama’ah agar senantiasa mengingat-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya yang menyebabkan mereka cinta dengan tulus kepada-Nya. Kemudian para sahabat menjelaskan tentang keagungan Allah, sifat dan nama-Nya yang menyebabkan dia cinta kepada akhluk-Nya, dan menyuruh jama’ah agar ta’at kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya dan mengingat-Nya yang membuat mereka dicintai oleh-Nya sehingga seluruh jama’ah ketika meninggalkan masjid mereka telah berada dalam keadaaan cinta kepada Allah dan Allah pun cinta kepada mereka. Dan adalah Rasulullah senantiasa berkhutbah dengan menyebut banyak ayat Qur’an, terutama surah Qaaf.”
  • Shalat jum’at adalah dua raka’at secara berjama’ah. Karenanya, siapa saja yang tidak mengerjakan shalat jama’ah jum’ah dari kalangan orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’ah, atau berasal dari kalangan orang-orang yang berudzur, maka hendaklah mereka shalat dzuhur empat raka’at. Dan barang siapa yang mendapatkan satu raka’at dengan (bersama) Imam berarti ia mendapat shalat jama’ah jum’at.
  • Barangsiapa datang ke masjid sebelum khatib berkhutbah, hendaklah ia shalat sunnah (intidzar) semampunya, tanpa ada batasnya sampai khatib hendak naik mimbar. Adapun shalat sunnah yang dewasa ini dikenal dengan sebutan shalat sunnah qabliyah jum’at, maka termasuk amalan yang sama sekali tidak mendasar yang kuat. Adapun sesudahnya, maka kalau mau shalatlah empat raka’at atau dua raka’at.
  • Yang Dianjurkan Dibaca Pada Hari Jum’at: [1]. Memperbanyak shalawat dan salam kepada Nabi saw. [2]. Membaca Surat al-Kahfi. [3]. Memperbanyak Do’a Demi Mendambakan Ketepatannya Dengan Waktu Istijabah (terkabul).
  • Apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka gugur kewajiban shalat jama’ah Jum’at dan orang-orang yang sudah mengerjakan shalat jama’ah.’”(Fiqhus Sunnah I : 267)
  • Dari Abul Ja’d adh-Dhamri r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena mengabaikannya, niscaya Allah menutup hatinya.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 923, Abu Daud III: 377 no: 1039, Tirmidzi II: 5 no: 498, Nasa’i III: 88 dan Ibnu Majah I:357no: 1125).
  • Para ulama semua mazhab sepakat bahwa paling tidak untuk sebuah khutbah jumat itu harus terpenuhi 5 rukun. Dan kelima rukun tersebut harus diucapkan dalam bahasa arab. Selebihnya, boleh digunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa hadirin yang ikut dalam khutbah tersebut. Seandainya salah satu dari kellima hal itu tidak terpenuhi, maka khutbah itu tidak sah. Maka jamaah diwajibkan untuk melakukan shalat Dzhuhur dengan 4 rakaat, atau harus ada seseorang yang menyelematkan khutbah itu dengan memenuhi kelima rukunnya.
  • Khusus rukun yang keempat dan kelima, ada perlakuan khusus. Untuk khutbah yang pertama, rukunnya adalah nomor 1, 2, 3 dan 4. Untuk khutbah kedua, rukunnya adalah nomor 1, 2, 3 dan 5. Berarti pada khutbah pertama, tidak perlu mengucapkan doa. Sedangkan pada khutbah kedua tidak perlu membaca lafadz ayat Al-Quran.
  • Takmir masjid harus tanggap dalam mengantisipasi keadaan. Seandainya terjadi kasus di mana khatib tidak mampu menyemprnakan rukunnya, entah karena tidak tahu atau karena tidak mampu mengucapkan dalam bahasa arab yang benar, maka harus ada seorang dari takmir yang ‘menyelamatkan’. Sesudahnya khatib turun mimbar, dia harus naik mimbar dan berkhutbah dua kali, cukup rukunnya saja dan bisa dilakukan dalam satu helaan nafas.
[adzan jumat dua kali]
  • Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali. Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jumat hendak dilaksanakan.
  • Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.
  • Terdapat perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.

PAHALA BAGI ORANG YANG MELAKUKAN SHOLAT TARAWIH PADA HARI 1-30

Dari Ali bin Abi Thalib R.A. bahwa dia berkata: Nabi SAW ditanya tentang keutamaan-keutamaan Tarawih di bulan Ramadhan. Kemudian beliau bersabda:

1. Orang mukmin keluar dari dosanya pada malam pertama, seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.
2. Dan pada malam kedua, ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.
3. Dan pada malam ketiga, seorang malaikat berseru dibawah ‘Arsy: “Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.”
4. Pada malam keempat, dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan (Al-Quran).
5. Pada malam kelima, Allah Ta’ala memeberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjidil Haram, masjid Madinah dan Masjidil Aqsha.
6. Pada malam keenam, Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang berthawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.
7. Pada malam ketujuh, seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa a.s. dan kemenangannya atas Fir’aun dan Haman.
8. Pada malam kedelapan, Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahin as
9. Pada malam kesembilan, seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadatnya Nabi saw.
10. Pada Malam kesepuluh, Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.
11. Pada malam kesebelas, ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.
12. Pada malam keduabelas, ia datang pada hari kiamat sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama.
13. Pada malam ketigabelas, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.
14. Pada malam keempat belas, para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.
15. Pada malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan para penanggung (pemikul) Arsy dan Kursi.
16. Pada malam keenam belas, Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga.
17. Pada malam ketujuh belas, ia diberi pahala seperti pahala para nabi.
18. Pada malam kedelapan belas, seorang malaikat berseru, “Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.”
19. Pada malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajat-derajatnya dalam surga Firdaus.
20. Pada malam kedua puluh, Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh).
21. Pada malam kedua puluh satu, Allah membangun untuknya sebuah gedung dari cahaya.
22. Pada malam kedua puluh dua, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.
23. Pada malam kedua puluh tiga, Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.
24. Pada malam kedua puluh empat, ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan.
25. Pada malam kedua puluh lima , Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.
26. Pada malam keduapuluh enam, Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.
27. Pada malam keduapuluh tujuh, ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.
28. Pada malam keduapuluh delapan, Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.
29. Pada malam kedua puluh sembilan, Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.

30. Dan pada malam ketiga puluh, Allah ber firman : “Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.”

Hadits Sahih Hukum Memelihara Jenggot / Janggut


Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du



Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisâ’: 115)


DALIL DARI ALQUR’AN

1. Allah ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا، وَاتَّقُوا اللَّهَ، إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Ambillah apa yang datang dari Rosul, dan tinggalkanlah apa yang dilarangnya! Dan takutlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Keras siksa-Nya (al-Hasyr: 7)

Ayat ini menyuruh kita untuk menjalankan semua tuntunan Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, sekaligus memerintah kita untuk meninggalkan semua larangan beliau. Dan sebagaimana kita tahu dalam kaidah ushul fikih, bahwa “setiap perintah dalam Alqur’an dan Sunnah, itu menunjukkan suatu kewajiban, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya”.
Sehingga ayat ini secara tidak langsung, mewajibkan kita untuk memelihara jenggot… Mengapa? Karena banyaknya perintah dari Rosul ­-shollallohu alaihi wasallam-, untuk memelihara jenggot, dan setiap perintah beliau itu menunjukkan kewajiban, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya.

2. Allah ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah mereka yang menyalahi perintah Rosul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih (an-Nur: 63)

Dalam ayat ini, Allah memperingatkan hamba-Nya; jika mereka melanggar perintah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, maka Dia akan menimpakan cobaan dan adzab yang pedih kepada mereka. Dan diantara perintah beliau adalah perintah memanjangkan jenggot. Itu berarti ayat ini secara tidak langsung memperingatkan kita untuk tidak memangkas jenggot.

3. Allah ta’ala berfirman:

قَالَ يَبْنَؤُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي
Dia (Nabi Harun) menjawab: “Wahai putra ibuku! Janganlah engkau pegang jenggotku, jangan pula kepalaku!”

Ayat ini mengabarkan pada kita, bahwa Nabi Harun pada masa hidupnya memelihara jenggotnya… Jika ayat ini kita padukan dengan ayat lain yang berbunyi:

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
Mereka (para Nabi) itulah yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka (al-An’am: 90)

Maka kita akan tahu bahwa kita -Umat Muhammad- diperintah untuk memelihara jenggot. Itu karena diantara petunjuk para Nabi terdahulu adalah mereka memelihara jenggotnya, dan kita diperintah untuk melakukan petunjuk mereka yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-.

DALIL DARI HADITS

Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya memelihara jenggot, diantaranya:

1. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ! (رواه البخاري: 5892)ـ
Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot kalian panjang, dan potong tipislah kumis kalian! (HR. Bukhori: 5892)

2. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى! (رواه البخاري: 5893)ـ
Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potong tipislah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian! (HR. Bukhori: 5893)

3. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى! (رواه مسلم: 259)ـ
Dari Ibnu Umar, Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Selisilah Kaum Musyrikin, potong pendeklah kumis kalian, dan sempurnakanlah jenggot kalian!”. (HR. Muslim: 259)

4. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ! (رواه مسلم: 260)ـ
Dari Abu Huroiroh r.a., Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potonglah kumis kalian, biarkanlah jenggot kalian, dan selisihilah Kaum Majusi. (HR. Muslim: 260)

5. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْجوا (أو وأرجئوا) اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ. (رواه مسلم: 260, مع الرجوع إلى شرح صحيح مسلم للنووي, وفتح الباري شرح حديث رقم: 5892)ـ
Dari Abu Huroiroh r.a., Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potonglah kumis kalian, panjangkanlah jenggot kalian, dan selisihilah Kaum Majusi. (HR. Muslim: 260, lihat juga Syarah Shohih Muslim karya Imam Nawawi, dan Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori karya Ibnu Hajar hadits no: 5892)

6. Hadits Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:

عن أبي أمامة قَالَ: …فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ (رواه أحمد: 21780)ـ
Dari Abu Umamah: …lalu kami (para sahabat) pun menanyakan: “Wahai Rosululoh, sungguh kaum ahli kitab itu (biasa) memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka?”. Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menjawab: “Potonglah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian panjang, serta selisilah Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)!”. (HR. Ahmad: 21780, dihasankan oleh Albani, dan dishohihkan oleh Muhaqqiq Musnad Ahmad, lihat Musnad Ahmad 36/613)

7. Hadits dari Abdulloh bin Umar r.a.:

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بإحفاء الشوارب, وإعفاء اللحى (رواه مسلم: 259)ـ
Ibnu Umar r.a. mengatakan: “Sesungguhnya Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan untuk memangkas tipis kumis dan membiarkan jenggot panjang. (HR. Muslim: 259).

8. Pernyataan Sahabat Jabir bin Abdulloh r.a.:

كنا نؤمر أن نوفي السبال ونأخذ من الشوارب (مصنف ابن أبي شيبة 5/25504). وفي لفظ: كنا نعفي السبال, ونأخذ من الشوارب (أخرجه أبو داود: 4201). وحسنه الحافظ ابن حجر في فتح الباري 13/410, وصححه الشيخ عبد الوهاب الزيد في كتابه إقامة الحجة في تارك المحجة ص 36 و 79)ـ
Jabir r.a. mengatakan: “Sungguh kami (para sahabat), diperintah untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah: 26016). Dalam riwayat lain dengan redaksi: “Kami (para sahabat) membiarkan jenggot kami panjang, dan mencukur kumis” (HR. Abu Dawud: 4201). Atsar ini dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/410, dan di shohihkan oleh Syeikh Abdul Wahhab alu Zaid dalam kitabnya Iqomatul Hujjah fi Tarikil Mahajjah, hal: 36 dan 79)

Dari sabda-sabda di atas, kita dapat mengambil kesimpulan berikut:

1. Sabda-sabda diatas, semuanya menunjukkan perintah untuk memanjangkan jenggot, dan sebagaimana kita tahu kaidah ushul fikih, “setiap perintah dalam nash-nash syariat itu menunjukkan suatu kewajiban, dan haram bagi kita menyelisihinya, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya menjadi tidak wajib”. Itu berarti wajib bagi kita memanjangkan jenggot, dan haram bagi kita memangkasnya.

2. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- menghubungkan perintah memanjangkan jenggot, dengan perintah menyelisihi Kaum Ahli Kitab (Yahudi Nasrani), Kaum Musyrikin, dan Kaum Majusi. Itu menambah kuatnya hukum wajibnya memanjangkan jenggot ini, mengapa?… Karena dua perintah, jika berkumpul dalam satu perbuatan yang sama, itu lebih kuat dari hanya satu perintah saja.

3. Pada sabda-sabda di atas, terkumpul 5 redaksi perintah yang berbeda (perhatikan kalimat arab yang kami cetak merah, dari hadits 1-5), yang semuanya menunjukkan perintah memanjangkan jenggot… Ini juga meneguhkan petunjuk wajibnya memanjangkan jenggot… Karena perintah dengan lima redaksi yang berbeda-beda lebih meyakinkan, dari pada hanya menggunakan satu redaksi saja.

4. Para Sahabat Nabi, semuanya memanjangkan jenggotnya, karena mereka diperintah oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam- untuk melakukan itu. Jika perintah itu tidak wajib dilakukan, mengapa tidak ada satu pun sahabat yang menggundul jenggotnya?!. (lihat hadits no: 8)

5. Memanjangkan jenggot adalah ibadah yang diperintahkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, oleh karena itulah para sahabat bersemangat menerapkannya dalam kehidupan mereka, bahkan tidak satupun dari mereka menyelisihi perintah ini… Coba perhatikan masyarakat sekitar kita di era ini, kenyataannya sangat bertolak belakang, para sahabat dahulu semuanya memelihara jenggot, tapi di lingkungan kita tidak ada yang memelihara jenggot kecuali hanya sedikit saja… Semoga Alloh merubah keadaan umat ini, pada keadaan yang lebih baik, dan lebih dekat kepada ajaran islam yang mulia dan suci, sehingga umat ini dapat menggapai kejayaan yang mereka impikan… amin.

Para pembaca yang dirahmati Allah…

Sebenarnya sudah cukup, bagi insan muslim yang inshof, untuk menerima kesimpulan wajibnya memanjangkan jenggot ini, dengan berdasar pada dalil Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ yang kami sebutkan.

Namun, bila ada yang masih ragu dengan kesimpulan ini, mari kita lihat:

Perkataan Ulama Terdahulu Dalam Masalah Ini


MADZHAB HANAFI

يحرم على الرجل قطع لحيته (الدر المختار 6/407)ـ
Diharamkan bagi pria memotong jenggotnya. (ad-Durruh Mukhtar 6/407)

ولا يأخذ من لحيته شيئا لأنه مُثْلة (البحر الرائق 2/372)ـ
Tidak boleh baginya memangkas jenggotnya, karena itu termasuk mutslah. (al-Bahrur Ro’iq 2/372)

وأما الأخذ منها وهي دون ذلك كما يفعله بعض المغاربة ومخنثه الرجال فلم يبحه أحد (فتح القدير 4/370) (حاشية ابن عابدين 2/418)ـ
Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman tangan, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang Maroko dan para banci, maka tidak ada seorang pun yang membolehkannya. (Fathul Qodir 4/370, Hasyiah Ibnu Abidin 2/417).


MADZHAB MALIKI

فلا يجوز حلقُها، ولا نتفُها، ولا قص الكثير منها (المفهم للقرطبي 1/512)ـ
Maka tidak boleh mencukur jenggot, tidak boleh mencabutinya, dan tidak boleh pula memangkas sebagian besarnya. (al-Mufhim, karya Imam al-Qurthubi 1/512)

ويحرم على الرجل حلق اللحية (منح الجليل 1/82)ـ
Diharamkan bagi pria mencukur jenggotnya. (Minahul Jalil 1/82)

وحلق اللحية لا يجوز (مواهب الجليل 1/313)ـ
Menggundul jenggot itu tidak diperbolehkan (Mawahibul Jalil 1/313)

تنبيه: يحرم على الرجل حلق لحيته (حاشية الدسوقي 1/90)ـ
Catatan penting: Diharamkan bagi pria menggundul jenggotnya. (Hasyiah Dasuqi 1/90)

واتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا تجوز (الإقناع في مسائل الإجماع 2/3953)ـ
Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya menggundul jenggot, termasuk tindakan mutslah yang tidak diperbolehkan. (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’, karya Abul Hasan al-Qoththon al-Maliki 2/3953)


MADZHAB SYAFI’I

قال الشافعي: ولا يأخذ من شعر رأسه ولا لحيته شيئا لان ذلك إنما يؤخذ زينة أو نسكا (الأم 2/640)ـ
Imam Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan: “Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)

وقال أيضا: والحِلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم، وهو -وإن كان في اللحية لا يجوز- فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر، لانه يستخلف، ولو استخلف الشعر ناقصا أو لم يستخلف كانت فيه حكومة (الأم 7/203)ـ
Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan: “Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka hukumannya adalah hukumah. (al-Umm 7/203)

قال ابن رفعة: إن الشافعي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية (حاشية العبادي على تحفة المحتاج 9/376)ـ
Ibnu Rif’ah -rohimahulloh- mengatakan: Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)

قال الماوردي: نتف اللحية من السفه الذي ترد به الشهادة (الحاوي الكبير 17/151)ـ
Imam al-Mawardi -rohimahulloh- mengatakan: Mencabuti jenggot merupakan perbuatan safah yang menyebabkan persaksian seseorang ditolak.(al-Hawil Kabir 17/151)

قال الغزالي: وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال. (إحياء علوم الدين 2/257)ـ

al-Ghozali mengatakan: Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki. (Ihya’ Ulumiddin 2/257)

قال النووي: والصحيح كراهة الاخذ منها مطلقا بل يتركها على حالها كيف كانت، للحديث الصحيح واعفوا اللحي. وأما الحديث عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده “ان النبي صلي الله عليه وسلم كان يأخذ من لحيته من عرضها وطولها” فرواه الترمذي باسناد ضعيف لا يحتج به (المجموع 1/343)ـ
Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan: Yang benar adalah dibencinya perbuatan memangkas jenggot secara mutlak, tapi harusnya ia membiarkan apa adanya, karena adanya hadits shohih “biarkanlah jenggot panjang“. Adapun haditsnya Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: “bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu mengambil jenggotnya dari sisi samping dan dari sisi panjangnya”, maka hadits ini telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. (al-Majmu’ 1/343)

قال النووي: والمختار ترك اللحية على حالها وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلا (شرح صحيح مسلم للنووي, حديث رقم 260)ـ
Imam Nawawi juga mengatakan: Pendapat yang kami pilih adalah membiarkan jenggot apa adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali (Syarah Shohih Muslim, hadits no: 260)

قال أبو شامه: وقد حدث قوم يحلقون لحاهم, وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها. (فتح الباري 13/411)ـ
Abu Syamah -rohimahulloh- mengatakan: Telah datang sekelompok kaum yang menggunduli jenggotnya, perbuatan mereka itu lebih parah dari apa yang dinukil dari kaum Majusi, bahwa mereka dulu memendekkannya. (Fathul Bari 13/411)

قال الحليمي الشافعي: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن لحلقه فا ئدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء, فهو كجب الذكر. (الإعلام لابن الملقن 1/711)ـ
Al-Hulaimi asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan: Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan. (al-I’lam, karya Ibnul Mulaqqin)

MADZHAB HAMBALI

(وَيُحَرَّمُ) التَّعْزِيرُ (بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ (كشاف القناع 1/126)
Diharamkan memberikan ta’ziran (hukuman) dengan menggundul jenggot, karena adanya unsur mutslah di dalamnya. (Kasysyaful qona’ 1/126)

وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا (الفروع 1/130)ـ
Diharamkan menggundul jenggot, itu disebutkan oleh Syeikh kami. (al-Furu’ 1/130)

وَيُعْفِيَ لِحْيَتَهُ… وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا. (الإنصاف 1/121)ـ
(Termasuk Sunnah Nabi dalam rambut) adalah dengan membiarkan jenggot panjang… dan haram baginya menggundul jenggotnya. (al-Inshof 1/121)

َيُعْفِي لِحْيَتَهُ وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا , ذَكَرَهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ. (دقائق أولي النهى لشرح المنتهى 1/43)ـ
(Termasuk Sunnah Nabi dalam rambut) adalah dengan membiarkan jenggot panjang dan haram baginya menggundul jenggotnya. Hal ini disebutkan oleh Syeikh Taqiyuddin. (Daqo’iqu Ulin Nuha li Syarhil Muntaha 1/43)

قال السفَّاريني: المعتمد في المذهب حرمة حلق اللحية. (غذاء الألباب 1/334)ـ
Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab (Hambali) adalah haramnya menggundul jenggot. (Ghidza’ul Albab 1/334)

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam sahih keduanya dan juga selain mereka :

ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ : ﺧَﺎﻟِﻔُﻮﺍ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦَ ﻭَﻓِّﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ ﻭَﺃَﺣْﻔُﻮﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ. ﴿ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﴾
.
Dari Nafi’ dan Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu banyakkanlah jenggotmu dan pangkaslah kumismu.”

ﻭَﻟَﻬُﻤَﺎ ﻋَﻨْﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ : ﺃَﺣْﻔُﻮﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ. ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ : ﺍﻧْﻬَﻜُﻮﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﻋْﻔُﻮﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ

Diriwayatkan juga oleh keduanya dari Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhuma : “Pangkaslah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh.” Dalam suatu riwayat lain : “Cukurlah kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian.”
﴿ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ ﴾ adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu.

Berkata Ibnu Hajar :
﴿ ﻭﻓﺮﻭﺍ ﴾ dengan tasydid di fak-nya : ﴿ ﻭَﻓِّﺮُﻭْﺍ ﴾
Berasal dari ﴿ ﺍﻟﺘّﻮْﻓِﻴْﺮُ ﴾ : Yaitu membiarkan, maksudnya biarkanlah banyak.
Dan ﴿ ﺇِﻋْﻔَﺎﺀُ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ ﴾ : Yaitu biarkanlah sebagaimana adanya.

Adapun perintah untuk menyelisihi orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh hadits dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu :

“Sesungguhnya orang musyrik itu, mereka membiarkan kumis mereka tumbuh dan mencukur jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka yaitu biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang hasan)

Dari Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Muslim :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang Majusi, karena sesungguhnya mereka (orang-orang Majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya.”

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, dia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menyebutkan tentang orang-orang Majusi. Beliau bersabda : “Sesungguhnya mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot maka bedakanlah kalian dengan mereka.” Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) menampakkan pemotongan kumisnya kepadaku (Ibnu Umar).

Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Termasuk fitrah Islam, memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh. Sesungguhnya orang-orang Majusi membiarkan kumisnya dan mencukur jenggotnya. Maka bedakanlah dengan mereka, yaitu pangkaslah kumis kalian dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”

Di dalam Sahih Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sesungguhnya beliau bersabda :

ﺃُﻣِﺮْﻧَﺎ ﺑِﺈِﺣْﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺸّﻮَﺍﺭِﺏِ ﻭَﺇِﻋْﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﻠِّﺤْـﻴَﺔِ.

“Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot.”

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

ﺟَﺰُّﻭْﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﺭْﺧُﻮﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ.

“Potonglah kumis kalian dan panjangkanlah/biarkanlah jenggot kalian.”
Makna ﴿ ﺟَﺰُّﻭْﺍ ﴾ dan ﴿ ﻗَﺼُّﻮْﺍ ﴾ adalah potonglah.
Dan makna ﴿ ﺃَﺭْﺧُﻮﺍ ﴾ dan ﴿ ﻃَـﻴّﻠُﻮْﺍ ﴾ adalah panjangkanlah atau diartikan juga, biarkanlah.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafadh ﴿ pangkaslah = ﻗَﺼُّﻮْﺍ ﴾, maka :
Tidak meniadakan ﴿ mencukur = ﺍْﻹِﺣْﻔَﺎﺀُ ﴾.

Karena sesungguhnya riwayat ﴿ ﺍْﻹِﺣْﻔَﺎﺀُ ﴾ ada di dalam Bukhari-Muslim dan sama maksudnya.
Dalam suatu riwayat :
ﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ
“Biarkanlah/banyakkanlah jenggot kalian.”
Maksudnya : “Biarkanlah jenggot kalian penuh.”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Diharamkan mencukur jenggot.”
Berkata Al Qurthubi rahimahullah : “Tidak boleh memotong, mencabut, dan mencukurnya.”

Abu Muhammad Ibnu Hazm menceritakan bahwa menurut ijma’, menggunting kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu dengan dalil hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu :
“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”
Dan dengan hadits Zaid bin Arqam secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) :
“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami.” (Dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Dengan dalil yang lain, Tirmidzi berkata di dalam Al Furu’ : “Bentuk kalimat ini menurut shahabat kami (yang sepakat dengan Tirmidzi) menunjukkan keharaman.” Dan berkata pula dalam Al Iqna’ : “Haram mencukur jenggot.”

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu, dia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”

Al Bazzar telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma secara marfu' :
“Janganlah kalian menyerupai orang-orang Ajam, biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”

Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu dia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”

Dan riwayat Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Bukanlah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Maka bedakanlah diri dengan mereka (yahudi dan nashara)! Adalah perintah yang dikehendaki oleh pembuat syariat (Allah).”

Penyerupaan pada dhahir akan berpengaruh/menimbulkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalam batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh/menimbulkan penyerupaan dalam dhahir dan ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan atau dalam praktik nyata.
Penyerupaan dengan mereka pada perkara yang tidak disyariatkan bisa jadi sampai pada pengharaman atau termasuk dosa dari dosa-dosa besar (Al Kabair) dan terjadinya kekafiran sesuai dengan dalil syar'iyyah.

Sungguh Al Qur'an dan As Sunnah serta ijma' telah menunjukkan perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka secara keseluruhan.
Suatu perkara yang diduga sebagai tempat terjadinya kerusakan yang terselubung (dimana hal tersebut) tidak ditegaskan (oleh syar'i) berarti ketetapan hukumnya dikaitkan pada perkara di atas dan dalil tentang pengharamannya telah mengena (tidak terlepas) dari masalah tersebut.

Maka menyerupai mereka dalam bentuk dhahir merupakan penyebab penyerupaan dalam akhlak, perbuatan-perbuatan yang tercela, bahkan sampai pada i'tiqad (keyakinan). Sedang pengaruh dari yang demikian itu tidak ditegaskan (oleh syar'i).
Dan kerusakan itu sendiri --yang dihasilkan dari sikap penyerupaan-- terkadang hal tersebut tidak nampak dan terkadang sulit (untuk dihindari) atau tidak mudah untuk dihilangkan. Maka segala sesuatu yang menyebabkan pada kerusakan (fasaad), pembuat syariat (Allah ‘Azza wa Jalla) mengharamkannya.

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu 'anhu :

“Barangsiapa yang menyerupai mereka sampai meninggal (mati) dia akan dibangkitkan bersama mereka.”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencegah untuk mengikuti hawa nafsu mereka. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah : 77)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Baqarah : 145)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

“Mengikuti mereka pada perkara yang mereka khususkan dari agama mereka. Dan mengikuti agama mereka berarti mengikuti hawa nasfu mereka.”

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan bahwasanya salah seorang dari majusi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dia sungguh telah mencukur jenggotnya dan memanjangkan kumisnya.
Maka bertanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang tersebut, apa yang menyebabkan berbuat demikian, dia menjawab : “Ini agama kami.” Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (adalah jenggot beliau penuh dari sini sampai sini dan menunjuk tangannya pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) : “Akan tetapi pada agama kami, yaitu memangkas kumis dan membiarkan jenggot tumbuh.”

Harits bin Abi Usamah telah mengeluarkan dari Yahya bin Katsir, dia berkata : Telah datang seorang laki-laki 'ajam ke masjid dan sungguh dia telah memanjangkan kumisnya dan menggunting jenggotnya. Maka bersabda (bertanya) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang tersebut : “Apa yang membawa kamu (menyuruh kamu) atas ini?” Maka orang tersebut menjawab : “Sesungguhnya rab (raja) saya yang memerintah saya dengan ini.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan agar memanjangkan jenggot dan memangkas kumis saya.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Habib kisahnya dua utusan kisra (kaisar), berkata Zaid bin Habib :

Telah masuk dua utusan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan sungguh keduanya telah mencukur jenggot dan memelihara kumisnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memandang dengan benci kepada keduanya dan bersabda : “Celakalah kalian berdua. Siapakah yang menyuruh kalian dengan ini.” Kedua orang tersebut menjawab : “Yang memerintahkan kami adalah rab kami (yaitu kaisar).”

Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Akan tetapi Rabbku memerintahkan untuk memelihara jenggotku dan memotong kumisku.”

Muslim meriwayatkan dari Jarir radliyallahu 'anhu, ia berkata :

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam banyak rambut jenggotnya.”

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Umar radliyallahu 'anhu :

“(Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) itu tebal jenggotnya.”
Dan dalam suatu riwayat : “Banyak jenggotnya.” Dan dalam riwayat lain : “Lebat jenggotnya.”
Dari Anas radliyallahu 'anhu : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, jenggotnya penuh dari sini sampai sini --menunjuk dengan tangannya pada lebarnya--.”

Sebagian ahli ilmu membolehkan (memberikan keringanan) dalam masalah mengambil (memotong) jenggot yang lebih dari genggaman dengan dasar yang dilakukan oleh Ibnu Umar radliyallahu 'anhu . Namun kebanyakan ulama membencinya (mengambil yang lebih dari genggaman). Dan ini sudah jelas dengan (keterangan) yang terdahulu.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : “Yang terpilih yaitu membiarkan atas keadaannya, yakni tidak memendekkan sesuatu dari jenggot secara asal.”

Al Khatib telah mengeluarkan dari Abi Said radliyallahu 'anhu bahwa : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Janganlah salah satu di antara kalian memotong dari panjang jenggotnya.”

Dalam kitab Ad Darul Mukhtar disebutkan :

“Adapun memotong dari jenggot itu bukan menggenggam sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Maghrib dan para banci dari kaum laki-laki, maka tidak seorang pun yang membolehkannya.”

Pada Diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ada Suri Tauladan Yang Baik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya). Dan janganlah kamu menjadi orang-orang (munafik) yang berkata : “Kami mendengarkan.” Padahal mereka tidak mendengarkan.” (QS. Al Anfal : 20-21)

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nur : 63)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa' : 115)

Allah ‘Azza wa Jalla memperindah para laki-laki dengan jenggot. Dan diriwayatkan termasuk tasbihnya para Malaikat :

“Maha Suci (Allah) yang telah menghiasi orang laki-laki dengan jenggot.”

Dikatakan di dalam At Tamhid :

“Haram mencukur jenggot, tidaklah ada yang berbuat demikian (mencukur jenggot) kecuali banci dari (kalangan) laki-laki.”

Imam Nawawi rahimahullah dan yang lain berkata :

• Jenggot adalah perhiasan laki-laki dan merupakan kesempurnaan ciptaan.
• Dengan jenggot, Allah membedakan antara laki-laki dan perempuan dan termasuk tanda-tanda kesempurnaan, maka mencabut pada awal tumbuhnya adalah menyerupai anak laki-laki yang belum tumbuh jenggotnya dan merupakan kemungkaran yang besar.
• Demikian juga mencukur, menggunting, atau menghilangkan dengan obat penghilang rambut termasuk kemungkaran yang paling jelas dan kemaksiatan yang tampak nyata, menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta terjerumus kepada perkara yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarangnya.

Telah berkata dan bersaksi bahwa seorang laki-laki yang mencabut rambut di bawah bibirnya di sisi Umar bin Abdul Aziz maka beliau menolak persaksiannya. Umar bin Khaththab radliyallahu 'anhu dan Ibnu Abi Layla (seorang qadli di Madinah) menolak persaksian semua orang yang mencabut jenggotnya. Berkata Abu Syamah :

“Sungguh telah terjadi pada suatu kaum yang mereka itu mencukur jenggotnya dan kejadian ini lebih parah dari apa-apa yang terdapat pada Majusi (yang mereka itu memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya) disebabkan mereka mencukur jenggotnya.”

Ini pada jaman Abu Syamah rahimahullah, bagaimana seandainya jika beliau melihat masa sekarang (dimana) lebih banyak orang yang melakukannya.
Apa yang menimpa mereka? Dilaknati Allah-lah mereka. Maka bagaimana mereka berpaling?

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka mencontoh Rasul-Nya sementara mereka menyelisihinya dan mereka bermaksiat kepadanya. Mereka mencontoh orang-orang Majusi dan orang-orang kafir.
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar taat kepada Rasul-Nya dan sungguh telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

ﺃﻋْﻔُﻮ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ
“Peliharalah jenggot.”

Sementara mereka bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mereka bermaksud dengan sengaja mencukur jenggotnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk mencukur kumis, mereka memanjangkannya, mereka melakukan yang sebaliknya. Mereka bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla secara terang-terangan dengan melakukan apa yang tidak tepat pada tempatnya.

Dan yang Allah ‘Azza wa Jalla memperindah dengannya adalah paling mulia dan indahnya sesuatu dari manusia.

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap pekerjaannya yang buruk itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu syaithan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Faathir : 8)

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari butanya hati, kotornya dosa-dosa, kehinaan dunia, dan siksa akhirat.

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar niscaya mereka pasti berpaling juga sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS. Al Anfal : 22-23)

Dan dalam hal ini cukuplah bagi orang yang mempunyai hati dan mendengarkan serta dia dalam keadaan menyaksikan.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi : 17)

ﻭَﺍﷲﹸ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟﺼَّﻮَّﺍﺏ
ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﷲﹸ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ

(Dikutip dari terjemah tulisan Abdurrahman Ibn Muhammad ibn Qoshim Al 'Ashimi, edisi Indonesia Biarkan Jenggot Anda Tumbuh, penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang)

Dari Zakariya bin Abi Zaidah dari Mush’ab bin Syaibah dari Thalq bin Habib dari Abdullah bin Az-Zubair dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
قَالَ زَكَرِيَّاءُ: قَالَ مُصْعَبٌ: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
“Ada sepuluh perkara dari fitrah: Mencukur kumis, memanjangkan janggut, bersiwak, beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), memotong kuku, bersuci dengan air, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan beristinja’ dengan air (istinja`).”
Zakariya berkata: Mush’ab berkata, “Dan aku lupa yang kesepuluh, kecuali dia adalah berkumur-kumur.” (HR. Muslim no. 261)

Dari Ibnu Umar  dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Al-Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259)
Dari Abu Hurairah  dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَعْفُوا اللِّحَى وَخُذُوا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوا شَيْبَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى
“Panjangkanlah janggut, cukurlah kumis, dan warnailah uban kalian, serta janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Ahmad no. 8318 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1067)

Penjelasan ringkas:

Janggut adalah rambut yang tumbuh di pipi (dari bawah tulang pipi) dan yang tumbuh di dagu. Maka termasuk janggut adalah cambang yang tumbuh di bawah tulang pipi.

Membiarkan janggut dan tidak mencabut atau memangkasnya termasuk dari sunnah fitrah yang diperintahkan oleh Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam-. Karenanya para ulama telah bersepakat akan wajibnya membiarkan janggut dan haramnya mencabut atau memangkasnya. Ijma’ ini dinukil oleh Imam Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’ hal. 157 dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat hal. 19.

Dalil akan ijma’ ini adalah hadits-hadits di atas dan yang semisalnya, dan juga karena mencukur janggut merupakan perbuatan menyerupai orang-orang kafir dan juga menyerupai wanita, sementara kedua perkara ini telah dilarang oleh syariat dalam beberapa ayat dan hadits.

Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,.

Hadits Sahih Hukum Memelihara Jenggot / Janggut

Hadits Sahih Hukum Memelihara Jenggot / Janggut

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du